SMP-Al-Madinah — Sebagai seorang guru, kita banyak menemui berbagai macam anak dengan perilaku yang berbeda-beda. Ada anak yang pendiam dan cenderung mengasingkan diri dari temannya atau sebaliknya, anak dengan perilaku yang berlebihan energinya seakan-akan tidak pernah capek atau sebaliknya, anak yang suka usil dengan temannya, anak yang sangat manja dengan kita sebagai gurunya, anak yang mandiri dan tanggung jawab, anak yang dengan mudah mengusai dan memahami materi pelajaran yang kita berikan atau sebaliknya, anak yang mudah fokus namun ada anak yang perhatiannya mudah teralihkan. Perilaku tersebut mungkin hanya sebagian dari perilaku anak-anak kita yang kita temui setiap hari.
Pada saat kita di kelas dan kita menemukan anak-anak dengan perilaku yang baik, sopan, santun, penurut, fokus dan dapat menguasai dan memahami materi pelajaran yang kita berikan dengan mudah maka kita akan merasa senang dan nyaman belajar bersama anak-anak. Namun pada saat kita menemukan anak dengan perilaku kompulsif (tidak patut) tidak bisa diam di kelas atau muter-muter (jawa), suka mengusili temannya, tidak perhatian saat kita berbicara, cuek dengan lingkungan sekitarnya, perhatiannya tidak fokus, keras kepala, merasa bosan dengan rutinitas dan nilai akademiknya yang jauh di bawah rata-rata maka perasaan kita akan tidak nyaman dengan anak tersebut dan kita dibuat pusing dengan olah anak tersebut sehingga kadang secara tidak sadar kita akan mengatakan tidak sanggup mengajar anak dengan kondisi tersebut karena mungkin anak tersebut memiliki gangguan pada otaknya. Sebelum saya mulai hal yang berkaitan dengan perilaku anak yang saya sebutkan di atas, saya ceritakan terlebih dulu kisah seorang anak.
Sebuah kisah seorang anak laki yang berumur enam tahun, pada saat lahir kepalanya besar. Diperkirakan punya penyakit otak. Ketiga kakaknya meninggal waktu lahir. Ibu anak laki ini tidak setuju dengan pendapat tetangga dan anggota keluarga yang lain bahwa anak laki ini mungkin abnormal.Pada waktu dimasukan sekolah, anak itu didiagnosa sakit jiwa oleh gurunya. Karena diperlakukan demikian, sang Ibu marah dan anak itu ditarik dari sekolah untuk diajarkannya sendiri. Ternyata anak itu di kemudian hari menemukan listrik, lampu, fonograf dan mikrofon, namanya Thomas Alva Edison (Gortzel dan Goestzel, 1962 dalam Kitano dan Kirby, 1986). Del North di Amerika, bahwa ia punya seorang putra berusia 7 tahun, para gurunya mengatakan bahwa ia tidak bisa kembali bersekolah kecuali memberinya obat Ritalin. Di kelas ia suka melamun, dan gurunya di kelas dua berkata bahwa ia takkan mengizinkan anak saya masuk sekolah sampai diobati. Di kelas satu, prestasinya baik tetapi gurunya tidak menyukainya.Saya telah membawanya ke dua dokter, dan dokter tersebut tidak bersedia memberinya obat karena setelah dites ia ternyata seorang genius.
Dari dua contoh kasus di atas menunjukkan bahwa mungkin bisa terjadi anak yang kita temui di dalam kelas setiap hari seperti yang terurai di atas dengan perilaku yang menjengkelkan menurut kita ternyata adalah anak yang memiliki intelektual bagus. Memang dapat ditemui bahwa ada anak dengan intelektual bagus tapi prestasi akademiknya tidak seperti potensi yang dimilikinya, anak yang demikian dikenal dengan underachiever. Home Gaskill Hutchkin (1988, dalam Colangelo, 1991) dan Kitano dan Kirby (1986) menyatakan yang disebut underachiever anak berbakat adalah kinerja yang secara signifikan berada di bawah potensinya. Semiawan (1997) underachiever adalah Anak berbakat dengan prestasi belajar kurang. Anak Berbakat Berprestasi Kurang (Underachiever) adalah anak berbakat yang menampilkan prestasi akademiknya lebih rendah secara berarti daripada potensi akademiknya, sehingga membutuhkan untuk bantuan dan fasilitasi yang sesuai untuk dapat mengoptimalkan perkembangan potensinya(Wahab, 2005).
Sekiranya “kendinya terisi penuh”, yaitu bila bakatnya teraktualisasi secara optimal, mungkin saja lahir Einstein Indonesia, sedangkan bila semua kemungkinan yang dimilikinya sebagai bakat dan kodrat sejak lahir tidak terwujud, semuanya akan mubazir (Semiawan, 1997). Anak berbakat akan mencapai prestasi belajar tinggi (superachiever) atau prestasi belajar kurang(underachiever) bergantung dari rumah, sekolah, dan teman sebaya. Lingkungan sekolah yang kurang menghargai hasil belajar tinggi akan menyebabkan anak berbakat tidak memperoleh kepuasan intrinsik dari hasil upayanya. Lingkungan sekolah yang demikian salah satu cirinya adalah : Lingkungan sekolah yang menginginkan semua anak belajar dengan materi, kecepatan dan gaya belajar sama, Guru yang kurang memperhatikan kualitas karya anak (Semiawan, 1997). Condron(2003) bahwa hanya sedikit orang yang cukup mengetahui tentang cara belajar agar mampu mengajar anak-anak yang masih belia ini secara memadai. Karena dibiarkan tak dikenali dan tidak mendapat rangsangan, anak-anak ini lalu melamun dalam upaya melepaskan diri dari rasa bosan, atau mereka akan menjadi malas karena upaya mereka yang tidak sepenuh hati seringkali menentukan jenjang kelas, jadi untuk apa bersusah payah lebih dari yang diperlukan?. Anak dengan intelektual bagus namun tidak mendapatkan porsi belajar sesuai dengan kapasitas intelektualnya maka akan menyebabkan anak menjadi trouble maker di dalam kelas karena merasa bosan dengan rutinitas.
Semiawan (1997), Anak berbakat dengan prestasi belajar kurang memperlihatkan ciri sebagai berikut :
- Sikap tidak matang dalam arti sosial dengan memperlihatkan sikap ditolak oleh sebayanya, antagonis, sikap permusuhan.
- Sikap negatif terhadap pekerjaan sekolah dikaitkan dengan kebiasaan belajar yang kurang baik, kegagalan menyelesaikan tugas, kegagalan menguasai keterampilan dasar, kinerja tes yang kurang, mudah teralihkan perhatian, phobia sekolah, memiliki motivasi rendah kecuali untuk bidang intern yang amat khusus, kurang tekun, aspirasi rendah dan memiliki standar yang tidak realistik.
- Memiliki perasaan inferior dan sikap defensif, kecenderungan menyalahkan orang lain dan berperilaku agresif(Kitano dan Kirby, 1986).
- Rasa harga diri rendah yang menghasilkan perilaku tidak produktif dan bahkan menjurus “belajar ketergantungan pada orang lain” (learned helplesness; Seligman, 1975 dalam Colangelo, 1991).
Untuk mengatasi masalah pada anak underachiever (Rimm, dalam Colangelo, 1991 dalam Semiawan 1997) kerjasama antara sekolah dan orang tua murid sangat diperlukan, kerjasama tersebut diantaranya :
- Assessment. Dilakukan kerjasama dengan psikolog, guru, konselor dan orang tua. Untuk asesmen pertama diperlukan tes intelegensi individu yaitu tes WISC-R atau Stanford Binet harus secara individu. Selama tes harus diperhatikan gejala-gejala ketegangan, perhatian terhadap tugas, ketekunan terhadap tugas, respons terhadap frustasi, pendekatan pengatasan masalah dan respons etrhadap upaya mendorong. Dilakukan tes keterampilan dasar CALISTUNG. Jika dimungkinkan dilakukan tes kreativitas.
- Komunikasi. Dilakukan antara orang tua dan guru untuk meremedi prestasi belajar kurang. Komunikasi ini tidak saling menyalahkan namun mencakup diskusi yang dinilai, kemajuan belajar yang dievaluasi, dan model belajar yang harus dilanjutkan oleh orang tua di rumah.
- Mengubah harapan. Yaitu mengubah harapan dari orang-orang penting bagi anak yaitu pola asuh orang tua atau gaya belajar dari guru yang sama seperti anak normal pada umumnya, atau bahkan karena anak tidak dapat memenuhi kebuuthannya dianggap anak tidak dapat menyesuaikan diri. Harapan tersebut harus diubah bahwa setiap anak membuuthkan layanan belajar dan pola asuh yang berbeda untuk mengoptimalkan potensinya.
- Model indentifikasi peran. Yaitu dengan mengundang orang atau guru yang berhasil dalam kariernya. Sebaiknya orang atau guru tersebut harus memiliki sikap :
- Peduli tentang anak asuhnya
- Sama jenis kelamin
- Memiliki persamaan ciri fisik, gama, ras, latar belakang sosial ekonomi
- Keterbukaan
- Memiliki waktu
- Koreksi penyimpangan. Prestasi belajar kurang sebagai hasil kurang perhatiannya di kelas, cara belajar yang salah, dan unjuk kerja kurang. Diperlukan tutoring, namun sebaiknya dilakukan bukan oleh orang tua sendiri, melainkan orang dewasa yang sangat dekat, memahami masalah dan bertindak hati-hati, sehingga anak belajar mandiri karena didorong oleh tutor.
- Modifikasi kekuatan pengulang. Yaitu dengan memberikan reward, namun jangan memebrikan reward kalau pekerjaannya tidak selesai. Perhatian orang dewasa terhadap ahsil kerjanya merupakan ganjaran (reward) yang dapat meningkatkan motivasi intrinsik anak dan lebih baik daripada berbagai ganjaran yang menjadikan ekstrinsik (Rimm, dalam Colangelo, 1991) ,model di atas disebut model trifocal.
Semoga dengan gambaran tersebut di atas akan menjadikan kita sebagai seorang guru yang mau memahami potensi dan membantu untuk mengembangkannya agar kelak potensi mereka tidak terabaikan dengan sia-sia dan mereka menjadi anak-anak yang bermanfaat.Mampukah kita menjadi guru buat mereka-mereka? (humassdilh/abuaga)
Heri Murtomo, S.Pd. (Guru SD Integral Luqman Al Hakim Surabaya)