SMP Al-Madinah— Perilaku masyarakat dan generasi negeri ini pada akhir-akhir ini semakin menguatkan pandangan masyarakat mengenai karakter anak bangsa yang telah mengalami kemunduran. Pendidikan dianggap telah gagal mendidik anak bangsa, karena pendidikanlah yang dapat membentuk karakter generasi bangsa. Pendidikan dipandang sebagai salah satu pintu untuk membentuk karakter anak. Karena di dunia pendidikanlah dianggap paling mudah membentuk dan memasukan unsur-unsur karakter kepribadian yang baik ke dalam jiwa anak-anak. Dengan adanya kurikulum baru tahun 2013 diharapkan mampu memberikan solusi untuk membentuk karakter anak didik. Kurikulum ini oleh pencetusnya dinyatakan sebagai kurikulum karakter karena 70% berisi tentang pembentukan karakter diri anak didik. Salah satu yang melatarbelakangi munculnya kurikulum 2013 adalah lunturnya karakter anak bangsa Indonesia. Karakter anak bangsa saat ini oleh sebagian besar masyarakat ditengarai sedang mengalami degradasi mental. Terbukti semakin maraknya perilaku para pelajar yang dengan tanpa beban melanggar norma agama dan norma negara, didukung perilaku para elite negara yang sudah sangat banyak tertangkap basah melakukan tindak korupsi. Hal yang terjadi tersebut di atas oleh masyarakat disebut sebagai hasil dari pendidikan di sekolah.
Pendapat para pakar pendidikan bahwa sekolah sudah melenceng jauh dari visi pendidikan di Indonesia yang merupakan lembaga pembentuk dan pendidik karakter anak. Sebagai stakeholders pendidikan agar kita tidak terjebak dengan pandangan masyarakat dan pendapat para pakar pendidikan tersebut maka kita harus pahami bersama bahwa yang terjadi di sekolah selama ini sudah sesuai dengan tujuan pendidikan bangsa . Sekolah beserta unsur-unsurnya senantiasa memberikan penanaman dan keteladan sebagai wadah pembentuk karakter, guru-guru dengan penuh kasih sayang dan sentuhan hati telah menanamkan pendidikan karakter yang baik kepada anak didiknya. Bahkan jika kita amati secara lebih mendalam yang dilakukan guru di sekolah melebihi yang dilakukan orang tua anak didik di rumah. Jika terjadi kejadian seperti tersebut di atas kita harus mencermati hal itu secara kompleks dan komperehensif, tidak serta merta beranggapan bahwa sekolah gagal membentuk karakter anak bangsa, karena pembentukan karakter anak berkaitan dengan banyak faktor di samping sekolah terdapat faktor orang tua dan lingkungan masyarakat.
Pendidikan karakter memang sangat urgen bagi bangsa ini karena masa depan bangsa terletak pada generasi saat ini. Jika pendidikan di Indonesia tidak dapat membentuk karakter generasi yang baik maka yang akan terjadi adalah kehancuran bangsa. Karakter yang baik, menurut John Luther, lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa. Hampir semua bakat adalah anugerah. Karakter yang baik, sebaliknya, tidak dianugerahkan kepada kita. Kita harus membangunnya sedikit demi sedikit – dengan pikiran, pilihan, keberanian, dan usaha keras (John Luther, dikutip dari Ratna Megawangi dalam Adian Husaini, 2010). Karakter memang laksana “otot” yang memerlukan latihan demi latihan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan dan kekuatannya. Karena itu, pendidikan karakter memerlukan proses pemahaman, penanaman nilai, dan pembiasaan, sehingga seorang anak didik mencintai perbuatan baik. Contoh, untuk mendidik agar anak mencintai kebersihan, maka harus dilakukan pembiasaan hidup bersih dan diberikan pemahaman agar mereka mencintai kebersihan. Tentu, ini adalah cara yang baik dan memerlukan kesabaran dalam pendidikan.
Bahwa karakter anak dapat dibentuk melalui pemahaman, penanaman nilai dan pembiasaan, serta keteladanan maka hal yang paling mudah untuk memasukan unsur-unsur tersebut adalah sekolah. Dengan sistem yang terencana, aktivitas yang terjadwal dan teratur serta komunitas anak yang seusia maka pendidikan karakter akan lebih mudah dilakukan di sekolah. Guru sebagai pendidik tidak hanya bertugas untuk memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didiknya namun guru harus dapat dijadikan teladan pembentukan karakter anak. Paradigma masyarakat bahwa guru adalah orang yang memiliki keteladanan dan dapat menjadikan anak didiknya untuk menjadi anak yang tumbuh dan kembang dengan karakter yang baik. Masyakat sepenuhnya mempercayakan dan menumpukan hal ini kepada guru sehingga kegagalan karakter anak bangsa merupakan kegagalan seorang guru khususnya dan kegagalan pendidikan di sekolah.
Hingga saat ini dalam hidup dan kehidupan masyarakat, pendidikan karakter yang dipupuk pada anak belum mampu menciptakan kehidupan yang bermoral. Untuk menciptakan hidup dan kehidupan masyarakat yang bermoral bukan hanya sekedar membentuk karakter anak, sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim maka bangsa ini masih perlu membangun tidak sekedar karakter anak bangsa namun anak-anak bangsa yang beradab sehingga menjadikan masyarakat yang beradab. Mari kita amati negara-negara non muslim yang memiliki karakter yang kuat, bangsa Cina maju sebagai hasil pendidikan karakter, lalu apa bedanya orang komunis yang berkarakter dengan orang muslim yang berkarakter? Orang komunis, atau ateis, bisa saja menjadi pribadi yang jujur, pekerja keras, berani, bertanggung jawab, mencintai kebersihan, dan sebagainya. Kabarnya, di Jepang, jika ketinggalan barang di taxi, hampir pasti akan bisa kembali. Di Cina, masyarakat ditanamkan disiplin yang sangat tinggi dalam soal sampah. Di jalan-jalan sulit ditemukan sampah. Bahkan, sampah selembar daun pun bisa mereka manfaatkan untuk bahan bakar. Artinya, karakter yang bagus bisa dibentuk pada setiap manusia, tanpa memandang agamanya apa. Jika orang non-Muslim bisa berkarakter, orang muslim juga bisa seperti itu.
Lalu, dimana perbedaan antara Muslim dan non-Muslim yang berkarakter? Bagi Muslim, dia bisa juga dan bahkan harus berkarakter mulia. Tetapi, bagi Muslim, berkarakter saja tidaklah cukup. Beda antara Muslim dengan non-Muslim – meskipun sama-sama berkarakter – adalah pada konsep adab. Yang diperlukan oleh kaum Muslim Indonesia bukan hanya menjadi seorang yang berkarakter, tetapi harus menjadi seorang yang berkarakter dan beradab.
Pemahaman dan pengakuan tentang adab inilah yang membedakan seorang Muslim yang berkarakter dengan seorang komunis atau ateis yang berkarakter. Secara umum, pendidikan karakter yang digalakkan oleh pemerintah adalah baik. Tetapi, orang yang berkarakter saja, belum tentu beradab. Lihatlah, orang-orang Barat, banyak yang sangat peduli dengan kebersihan dan kerja keras, tetapi mereka tidak memandang jahat aktivitas bermabok-mabokan, bertelanjang, dan berbuat tidak senonoh.
Pakar filsafat Islam dan sejarah Melayu menjelaskan bahwa, ” adab itu sesungguhnya suatu kelakuan yang harus diamalkan atau dilakukan terhadap diri, dan yang berdasarkan pada ilmu, maka kelakuan atau amalan itu bukan sahaja harus ditujukan kepada sesama insani, bahkan pada kenyataan makhluk jelata, yang merupakan ma’lumat bagi ilmu.” Orang beradab adalah yang dapat memahami dan mengakui sesuatu sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan oleh Allah SWT. (bersambung)
By : Ust. Heri Murtomo, S.Pd. (Guru SD Integral Luqman Al Hakim Surabaya).