Segala pujian hanya milik Allah yang mengajari dengan pena, mengajari manusia (tentang) apa yang mereka belum ketahui sebelumnya. Shalawat dan salam kepada Nabi Kita Muhammad yang Rabbnya berkata kepadanya -ketika menyebutkan nikmat-Nya kepadanya-,
(وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ)
“Dan dia mengajarkan kepadamu apa yang kamu belum ketahui sebelumnya.” [An-Nisâ`: 111]
Dan juga kepada keluarga beliau dan para sahabat beliau selaku umat terbaik yang mempelajari dan mengajarkan agama ini.
Wa ba’du:
Guru pertama dalam Islam adalah Rasulullah shallallâhu alaihi wa sallam, dan penuntut ilmu pertama adalah para shahabat Rasulullah shallallâhu alaihi wa sallam, yang sepeninggal beliau mereka menjadi guru dari semua orang yang berilmu. Sebagaimana sabda beliau shallallâhu alaihi wa sallam,
وَأَنَّ العُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ
“Dan para ulama adalah pewaris para nabi.”
Mereka mengajari manusia semua hal tentang agama mereka, (yaitu) akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Mereka memberikan pengajaran kepada manusia sedikit demi sedikit, sebagai realisasi firman Allah Ta’âlâ,
(وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ)
“Akan tetapi (dia berkata), ‘Hendaklah kalian menjadi orang-orang rabbani, karena kalian selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kalian tetap mempelajarinya.’” [Âli Imrân: 79]
Demikian halnya para ulama tabi’in sepeninggal mereka dan semua yang mengikuti mereka setelahnya, mereka semua berjalan di atas metode rabbani yang merupakan metode Al-Qur`an. Setiap generasi mengemban ilmu dan demikian pula dengan generasi setelahnya. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi shallallâhu alaihi wa sallam,
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ
“Ilmu agama ini akan senantiasa diemban oleh orang-orang shalih di setiap generasi.”
Mereka menguasai banyak negeri melalui jihad dan membuka banyak hati manusia dengan pengajaran, sampai mereka menyebarkan ilmu dari timur hingga barat belahan bumi, dimana amalan seperti ini belum pernah dilakukan oleh satu umat pun sebelum mereka. Ilmu yang sangat banyak ini disampaikan dengan bahasa Arab yang merupakan bahasa Al-Qur`an. Karenanya umat manusia -arab dan non arab- mempelajari bahasa ini sehinggga jadilah bahasa arab sebagai bahasa dunia. Ribuan orang non arab mengkaji bahasa arab dan semua cabang ilmunya secara lebih intensif, karena mereka mengetahui bahwa bahasa arab adalah bahasa Al-Qur`an dan bahasa Rasulullah shallallâhu alaihi wa sallam, sementara tidak mungkin seseorang bisa memahami agama ini kecuali dengan memahami bahasa keduanya dan musytaq (kata-kata turunannya) nya. Hasilnya, lautan ilmu terpancar dari Al-Kitab dan As-Sunnah, dan perpustakaan di dunia dipenuhi oleh buku-buku Islam, yang mana semua ini belum pernah ditemukan pada agama-agama sebelumnya. Inilah mukjizat dari Rasulullah dan rahmat bagi seluruh dunia. Sebagaimana firman Allah Ta’âlâ,
(وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ)
“Dan kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta.” [Al-Anbiyâ`: 107]
Sumber kebaikan dan mata air cahaya ini berasal dari kedua kota mulia, (yakni) Makkah dan Madinah, serta negeri-negeri Jazirah Arab yang ada di sekitarnya. Negeri-negeri inilah yang menjadi sumber risalah, tempat turunnya wahyu, dan daerah-daerah Islam yang Nabi bersabda tentangnya,
لَا يَبْقَى فِيهَا دِينَانِ
“Tidak boleh ada dua agama di dalamnya.”
Dari negeri-negeri inilah bertolaknya pasukan mujahidin serta rombongan dai dan pengajar. Dan Kerajaan Saudi Arabiah inilah yang sekarang menjadi pewaris dan pelaksana kebaikan ini. Banyak hati dan tubuh yang senantiasa rindu kepadanya, dan setiap tahunnya ada banyak rombongan yang mendatanginya. Mereka mendatangi rumah Allah yang mulia dan masjid Rasul alaihishshalâtu wassalâm dalam keadaan nyaman karena mengharapkan keutamaan dan keridaan dari Rabb mereka. Para pelajar dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong dan berlomba-lomba menuju universitas-universitas yang ada di negeri ini guna mempelajari agama, sehingga mereka bisa pulang dan mengajarkan ilmunya kepada masyarakat di negerinya. Sebagai realisasi firman Allah Ta’âlâ,
(وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ)
“Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula) karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [At-Taubah: 122]
Semua negara pasti membangun metode pengajarannya berdasarkan sistem kebijakan politik mereka. Dan tatkala sistem yang berlaku di negeri Kita ini sejalan dengan sistem pengajaran Islam, sementara tidak mungkin untuk mempelajari dan mengajarkan Islam kecuali dengan mempelajari bahasanya, yang notabene merupakan bahasa arab, maka tidak ada seorang muslim pun (di negeri ini) yang tidak bisa berbahasa arab. Penerjemahan ilmu-ilmu Islam ke dalam berbagai bahasa non arab menunjukkan kelebihan kaum arab dan kelebihan bahasa mereka yang telah Allah pilih sebagai bahasa yang membawa risalah ini ke seluruh dunia.
Tatkala Jazirah Arab secara umum dan Kerajaan Saudi Arabiah secara khusus merupakan tempat turunnya risalah, serta kedua kota yang mulia ini merupakan jantung dunia Islam dan hati-hati kaum muslimin condong kepadanya, maka sudah selayaknya jika semua universitas dan metode pendidikan yang ada di dalamnya menjadi sumber ilmu-ilmu Islam yang akan disebarkan ke seluruh dunia. Berangkat dari sinilah, tatkala Allah memberikan kekuasaan negeri-negeri kepada Raja Abdul Aziz Âlu Su’ûd rahimahullâh, beliau kemudian mendirikan banyak madrasah dan pesantren yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya banyak universitas di negeri ini. Beliau menyerahkan tugas kepada para ulama untuk merancang kurikulumnya yang berisi ilmu-ilmu Al-Qur`an, As-Sunnah, fiqih, serta bahasa arab dan cabang-cabang ilmunya. Anak keturunan beliau melanjutkan kerja beliau dengan mendirikan banyak yayasan pendidikan, agar semua yayasan ini tidak hanya memberikan manfaat kepada Kerajaan Saudi saja, akan tetapi kepada seluruh dunia.
Maka pendidikan keagamaan harus senantiasa berhubungan dengan para ulama dalam pembuatan, pengawasan, serta pengembangan rumusan dan kurikulumnya. Kapan pendidikan tidak lagi berhubungan dengan para ulama, maka pendidikan Islam akan terlantar, berubah, dan digantikan oleh kebodohan dan kerusakan akidah. Inilah yang diinginkan oleh musuh-musuh Islam tatkala mereka menyusup ke dalam agama Islam sebagai sekte Khawarij dan Mu’tazilah. Yang mereka ini meninggalkan para ulama lalu merumuskan sendiri sistem pendidikan mereka yang kemudian melahirkan kesesatan, kelemahan, dan berjamurnya sekte-sekte sesat yang sampai sekarang kaum muslimin senantiasa menantang dan memerangi semua ideologi mereka.
Di zaman ini Kita mendengar adanya seruan-seruan yang menuntut adanya perubahan pada sistem pendidikan negeri ini dan menuntut agar tugas perumusan sistem pendidikan dicabut dari para ulama dan diserahkan kepada orang-orang bodoh yang digelari sebagai pakar pendidikan. Mereka menginginkan agar sistem pendidikan Islami hanya menjadi suatu istilah yang tidak bermakna dan agar Islam menjadi Islam sekuler, bukan Islamnya Muhammad yang membedakan antara kebenaran dengan kebatilan, antara petunjuk dengan kesesatan, antara muslim dengan kafir, antara mukmin dengan munafik, dan antara orang shalih dengan fasik. Sesuai dengan ajaran Islam yang datang untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya, dan meninggalkan manusia di atas jalan yang terang dimana malamnya sama seperti siangnya. Dan Allah memenangkan agama ini di atas semua agama lainnya. Namun mereka menghendaki agar agama Islam menjadi seperti agama-agama lain yang telah berubah dan menyimpang.
Setelah terutusnya Muhammad shallallâhu alaihi wa sallam, maka tidak ada lagi agama yang benar selain agama yang beliau bawa.
(وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِيناً فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنْ الْخَاسِرِينَ)
“Dan barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima darinya agama itu. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” [Âli Imrân: 85]
Dan agama ini tidak akan bisa dikenali dengan benar sesuai dengan ajaran Muhammad shallallâhu alaihi wa sallam kecuali jika hukum-hukumnya dipelajari dan cara mempelajarinya pun harus sesuai dengan kurikulum pendidikan di setiap jenjangnya. Dan tidak ada yang mampu melaksanakan ini semua kecuali para ulama yang bertugas sebagai pengajar, penanggung jawab, dan pengawas. Jika mereka mengatakan bahwa manusia di zaman sekarang membutuhkan studi kontemporer dan ilmu-ilmu teknologi modern, maka Kami katakan, “Ilmu-ilmu itu tidak bertentangan dengan agama, bahkan agama memotivasi untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut.” Hanya saja itu dilakukan setelah mempelajari ilmu-ilmu Islam dengan baik. Dimana sebelum mempelajari ilmu-ilmu tersebut, seorang muslim harus mempelajari ilmu-ilmu Islam yang dengannya dia bisa memperbaiki agamanya. Karena ada kadar minimal dari ilmu-ilmu agama yang harus diketahui oleh setiap muslim, sementara ilmu-ilmu syariat selebihnya, maka sifatnya lebih mendalam (arab: takhashshush), yang hanya dituntut oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan dalam mempelajarinya. Umat Islam juga membutuhkan ilmu-ilmu syariat seperti ini, sehingga hukum mempelajarinya adalah fardu kifâyâh. Sebagaimana firman Allah Ta’âlâ,
(وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ)
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” [At-Taubah: 122]
Ilmu jenis yang pertama di atas, hukum mempelajarinya adalah fardhu ‘ain atas setiap muslim, dan mempelajarinya telah dipermudah oleh sistem pendidikan Kita sejak didirikannya banyak madrasah dengan perbedaan jenjang di dalamnya. Pendidikan di negeri Kita -alhamdulillah- melingkup semua ilmu yang dibutuhkan oleh masyarakat muslim, baik ilmu yang wajib dituntut oleh setiap individu maupun ilmu yang wajib dituntut dan diajarkan oleh masyarakat. Sementara ilmu-ilmu teknologi yang dibutuhkan oleh masyarakat maka Kita tetap menuntutnya dan tidak melalaikannya, agar kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat bisa terwujud dengan semua ilmu ini. Kita jangan sampai menjadi orang-orang yang Allah Ta’âlâ sinyalir dalam firman-Nya,
(يَعْلَمُونَ ظَاهِراً مِنْ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنْ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ)
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” [Ar-Rûm: 7]
sehingga Kita hanya mempelajari ilmu-ilmu dunia dan meninggalkan ilmu-ilmu agama. Dan juga sebagaimana dalam sebuah atsar,
اعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيشُ أَبَدًا، وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأّنَّكَ تَمُوتُ غَدًا
“Beramallah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya. Dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok.”
Karena itulah, di antara aktifitas terbesar dari Yayasan Raja Abdul Aziz rahimahullâh adalah adanya perhatian yang besar dan khusus terhadap sisi pendidikan. Beliau menyerahkannya kepada para ulama di negeri ini dan anak keturunan beliau juga melakukan hal yang sama. Dan negara ini tidak akan tegak kecuali dengan tegaknya pondasi-pondasi yang negara ini dibangun di atasnya, yaitu perhatian dengan sisi pendidikan dengan semua disiplin ilmunya dan itu semua harus ditangani oleh pakarnya dari kalangan ulama negeri ini. Agar mereka bisa merumuskan metode pendidikan, memilih para pengajar yang berkompeten, dan memilih buku-buku pegangan yang sesuai, baik yang klasik maupun yang kontemporer. Dan saya tidak mengetahui apa alasan para wartawan untuk meributkan adanya nama sebagian ulama yang tertera di sampul sebagian buku-buku paket fiqhi. Kecuali jika keributan ini lahir dari ide harusnya mencabut tugas pengawasan pendidikan dari para ulama dan menyerahkannya kepada selainnya. Ide ini telah ditolak dengan tegas oleh pemerintah dan kaum muslimin, karena ide itu tidak cocok dan tidak layak bagi kaum muslimin. Agama adalah nasehat untuk Allah, untuk Kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, untuk pemerintah kaum muslimin, dan untuk masyarakat kaum muslimin secara umum, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallâhu alaihi wa sallam.
Kita memohon kepada Allah agar Dia berkenan memperbaiki agama yang menjadi pelindung Kita, memperbaiki urusan dunia yang Kita hidup padanya, dan memperbaiki urusan akhirat Kita yang kelak Kita kembali padanya. Shalawat dan salam Allah senantiasa tercurah kepada Nabi Kita Muhammad, kepada keluarga beliau, dan para sahabat beliau.
Ditulis:
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Anggota Haiah Kibar Al-Ulama
8 Dzulqa’dah 1431 H
(Sumber: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/13090)