Loading...

Segala pujian hanya milik Allah yang mengajari dengan pena, mengajari manusia (tentang) apa yang mereka belum ketahui sebelumnya. Shalawat dan salam kepada Nabi Kita Muhammad yang Rabbnya berkata kepadanya -ketika menyebutkan nikmat-Nya kepadanya-,

(وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ)

“Dan dia mengajarkan kepadamu apa yang kamu belum ketahui sebelumnya.” [An-Nisâ`: 111]

Dan juga kepada keluarga beliau dan para sahabat beliau selaku umat terbaik yang mempelajari dan mengajarkan agama ini.

Wa ba’du:

Guru pertama dalam Islam adalah Rasulullah shallallâhu alaihi wa sallam, dan penuntut ilmu pertama adalah para shahabat Rasulullah shallallâhu alaihi wa sallam, yang sepeninggal beliau mereka menjadi guru dari semua orang yang berilmu. Sebagaimana sabda beliau shallallâhu alaihi wa sallam,

وَأَنَّ العُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ

“Dan para ulama adalah pewaris para nabi.”

Mereka mengajari manusia semua hal tentang agama mereka, (yaitu) akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Mereka memberikan pengajaran kepada manusia sedikit demi sedikit, sebagai realisasi firman Allah Ta’âlâ,

(وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ)

“Akan tetapi (dia berkata), ‘Hendaklah kalian menjadi orang-orang rabbani, karena kalian selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kalian tetap mempelajarinya.’” [Âli Imrân: 79]

Demikian halnya para ulama tabi’in sepeninggal mereka dan semua yang mengikuti mereka setelahnya, mereka semua berjalan di atas metode rabbani yang merupakan metode Al-Qur`an. Setiap generasi mengemban ilmu dan demikian pula dengan generasi setelahnya. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi shallallâhu alaihi wa sallam,

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ

“Ilmu agama ini akan senantiasa diemban oleh orang-orang shalih di setiap generasi.”

Mereka menguasai banyak negeri melalui jihad dan membuka banyak hati manusia dengan pengajaran, sampai mereka menyebarkan ilmu dari timur hingga barat belahan bumi, dimana amalan seperti ini belum pernah dilakukan oleh satu umat pun sebelum mereka. Ilmu yang sangat banyak ini disampaikan dengan bahasa Arab yang merupakan bahasa Al-Qur`an. Karenanya umat manusia -arab dan non arab- mempelajari bahasa ini sehinggga jadilah bahasa arab sebagai bahasa dunia. Ribuan orang non arab mengkaji bahasa arab dan semua cabang ilmunya secara lebih intensif, karena mereka mengetahui bahwa bahasa arab adalah bahasa Al-Qur`an dan bahasa Rasulullah shallallâhu alaihi wa sallam, sementara tidak mungkin seseorang bisa memahami agama ini kecuali dengan memahami bahasa keduanya dan musytaq (kata-kata turunannya) nya. Hasilnya, lautan ilmu terpancar dari Al-Kitab dan As-Sunnah, dan perpustakaan di dunia dipenuhi oleh buku-buku Islam, yang mana semua ini belum pernah ditemukan pada agama-agama sebelumnya. Inilah mukjizat dari Rasulullah dan rahmat bagi seluruh dunia. Sebagaimana firman Allah Ta’âlâ,

(وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ)

“Dan kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta.” [Al-Anbiyâ`: 107]

Sumber kebaikan dan mata air cahaya ini berasal dari kedua kota mulia, (yakni) Makkah dan Madinah, serta negeri-negeri Jazirah Arab yang ada di sekitarnya. Negeri-negeri inilah yang menjadi sumber risalah, tempat turunnya wahyu, dan daerah-daerah Islam yang Nabi bersabda tentangnya,

لَا يَبْقَى فِيهَا دِينَانِ

“Tidak boleh ada dua agama di dalamnya.”

Dari negeri-negeri inilah bertolaknya pasukan mujahidin serta rombongan dai dan pengajar. Dan Kerajaan Saudi Arabiah inilah yang sekarang menjadi pewaris dan pelaksana kebaikan ini. Banyak hati dan tubuh yang senantiasa rindu kepadanya, dan setiap tahunnya ada banyak rombongan yang mendatanginya. Mereka mendatangi rumah Allah yang mulia dan masjid Rasul alaihishshalâtu wassalâm dalam keadaan nyaman karena mengharapkan keutamaan dan keridaan dari Rabb mereka. Para pelajar dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong dan berlomba-lomba menuju universitas-universitas yang ada di negeri ini guna mempelajari agama, sehingga mereka bisa pulang dan mengajarkan ilmunya kepada masyarakat di negerinya. Sebagai realisasi firman Allah Ta’âlâ,

(وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ)

“Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula) karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [At-Taubah: 122]

Semua negara pasti membangun metode pengajarannya berdasarkan sistem kebijakan politik mereka. Dan tatkala sistem yang berlaku di negeri Kita ini sejalan dengan sistem pengajaran Islam, sementara tidak mungkin untuk mempelajari dan mengajarkan Islam kecuali dengan mempelajari bahasanya, yang notabene merupakan bahasa arab, maka tidak ada seorang muslim pun (di negeri ini) yang tidak bisa berbahasa arab. Penerjemahan ilmu-ilmu Islam ke dalam berbagai bahasa non arab menunjukkan kelebihan kaum arab dan kelebihan bahasa mereka yang telah Allah pilih sebagai bahasa yang membawa risalah ini ke seluruh dunia.

Tatkala Jazirah Arab secara umum dan Kerajaan Saudi Arabiah secara khusus merupakan tempat turunnya risalah, serta kedua kota yang mulia ini merupakan jantung dunia Islam dan hati-hati kaum muslimin condong kepadanya, maka sudah selayaknya jika semua universitas dan metode pendidikan yang ada di dalamnya menjadi sumber ilmu-ilmu Islam yang akan disebarkan ke seluruh dunia. Berangkat dari sinilah, tatkala Allah memberikan kekuasaan negeri-negeri kepada Raja Abdul Aziz Âlu Su’ûd rahimahullâh, beliau kemudian mendirikan banyak madrasah dan pesantren yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya banyak universitas di negeri ini. Beliau menyerahkan tugas kepada para ulama untuk merancang kurikulumnya yang berisi ilmu-ilmu Al-Qur`an, As-Sunnah, fiqih, serta bahasa arab dan cabang-cabang ilmunya. Anak keturunan beliau melanjutkan kerja beliau dengan mendirikan banyak yayasan pendidikan, agar semua yayasan ini tidak hanya memberikan manfaat kepada Kerajaan Saudi saja, akan tetapi kepada seluruh dunia.

Maka pendidikan keagamaan harus senantiasa berhubungan dengan para ulama dalam pembuatan, pengawasan, serta pengembangan rumusan dan kurikulumnya. Kapan pendidikan tidak lagi berhubungan dengan para ulama, maka pendidikan Islam akan terlantar, berubah, dan digantikan oleh kebodohan dan kerusakan akidah. Inilah yang diinginkan oleh musuh-musuh Islam tatkala mereka menyusup ke dalam agama Islam sebagai sekte Khawarij dan Mu’tazilah. Yang mereka ini meninggalkan para ulama lalu merumuskan sendiri sistem pendidikan mereka yang kemudian melahirkan kesesatan, kelemahan, dan berjamurnya sekte-sekte sesat yang sampai sekarang kaum muslimin senantiasa menantang dan memerangi semua ideologi mereka.

Di zaman ini Kita mendengar adanya seruan-seruan yang menuntut adanya perubahan pada sistem pendidikan negeri ini dan menuntut agar tugas perumusan sistem pendidikan dicabut dari para ulama dan diserahkan kepada orang-orang bodoh yang digelari sebagai pakar pendidikan. Mereka menginginkan agar sistem pendidikan Islami hanya menjadi suatu istilah yang tidak bermakna dan agar Islam menjadi Islam sekuler, bukan Islamnya Muhammad yang membedakan antara kebenaran dengan kebatilan, antara petunjuk dengan kesesatan, antara muslim dengan kafir, antara mukmin dengan munafik, dan antara orang shalih dengan fasik. Sesuai dengan ajaran Islam yang datang untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya, dan meninggalkan manusia di atas jalan yang terang dimana malamnya sama seperti siangnya. Dan Allah memenangkan agama ini di atas semua agama lainnya. Namun mereka menghendaki agar agama Islam menjadi seperti agama-agama lain yang telah berubah dan menyimpang.

Setelah terutusnya Muhammad shallallâhu alaihi wa sallam, maka tidak ada lagi agama yang benar selain agama yang beliau bawa.

(وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِيناً فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنْ الْخَاسِرِينَ)

“Dan barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima darinya agama itu. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” [Âli Imrân: 85]

Dan agama ini tidak akan bisa dikenali dengan benar sesuai dengan ajaran Muhammad shallallâhu alaihi wa sallam kecuali jika hukum-hukumnya dipelajari dan cara mempelajarinya pun harus sesuai dengan kurikulum pendidikan di setiap jenjangnya. Dan tidak ada yang mampu melaksanakan ini semua kecuali para ulama yang bertugas sebagai pengajar, penanggung jawab, dan pengawas. Jika mereka mengatakan bahwa manusia di zaman sekarang membutuhkan studi kontemporer dan ilmu-ilmu teknologi modern, maka Kami katakan, “Ilmu-ilmu itu tidak bertentangan dengan agama, bahkan agama memotivasi untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut.” Hanya saja itu dilakukan setelah mempelajari ilmu-ilmu Islam dengan baik. Dimana sebelum mempelajari ilmu-ilmu tersebut, seorang muslim harus mempelajari ilmu-ilmu Islam yang dengannya dia bisa memperbaiki agamanya. Karena ada kadar minimal dari ilmu-ilmu agama yang harus diketahui oleh setiap muslim, sementara ilmu-ilmu syariat selebihnya, maka sifatnya lebih mendalam (arab: takhashshush), yang hanya dituntut oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan dalam mempelajarinya. Umat Islam juga membutuhkan ilmu-ilmu syariat seperti ini, sehingga hukum mempelajarinya adalah fardu kifâyâh. Sebagaimana firman Allah Ta’âlâ,

(وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ)

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” [At-Taubah: 122]

Ilmu jenis yang pertama di atas, hukum mempelajarinya adalah fardhu ‘ain atas setiap muslim, dan mempelajarinya telah dipermudah oleh sistem pendidikan Kita sejak didirikannya banyak madrasah dengan perbedaan jenjang di dalamnya. Pendidikan di negeri Kita -alhamdulillah- melingkup semua ilmu yang dibutuhkan oleh masyarakat muslim, baik ilmu yang wajib dituntut oleh setiap individu maupun ilmu yang wajib dituntut dan diajarkan oleh masyarakat. Sementara ilmu-ilmu teknologi yang dibutuhkan oleh masyarakat maka Kita tetap menuntutnya dan tidak melalaikannya, agar kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat bisa terwujud dengan semua ilmu ini. Kita jangan sampai menjadi orang-orang yang Allah Ta’âlâ sinyalir dalam firman-Nya,

(يَعْلَمُونَ ظَاهِراً مِنْ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنْ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ)

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” [Ar-Rûm: 7]

sehingga Kita hanya mempelajari ilmu-ilmu dunia dan meninggalkan ilmu-ilmu agama. Dan juga sebagaimana dalam sebuah atsar,

اعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيشُ أَبَدًا، وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأّنَّكَ تَمُوتُ غَدًا

“Beramallah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya. Dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok.”

Karena itulah, di antara aktifitas terbesar dari Yayasan Raja Abdul Aziz rahimahullâh adalah adanya perhatian yang besar dan khusus terhadap sisi pendidikan. Beliau menyerahkannya kepada para ulama di negeri ini dan anak keturunan beliau juga melakukan hal yang sama. Dan negara ini tidak akan tegak kecuali dengan tegaknya pondasi-pondasi yang negara ini dibangun di atasnya, yaitu perhatian dengan sisi pendidikan dengan semua disiplin ilmunya dan itu semua harus ditangani oleh pakarnya dari kalangan ulama negeri ini. Agar mereka bisa merumuskan metode pendidikan, memilih para pengajar yang berkompeten, dan memilih buku-buku pegangan yang sesuai, baik yang klasik maupun yang kontemporer. Dan saya tidak mengetahui apa alasan para wartawan untuk meributkan adanya nama sebagian ulama yang tertera di sampul sebagian buku-buku paket fiqhi. Kecuali jika keributan ini lahir dari ide harusnya mencabut tugas pengawasan pendidikan dari para ulama dan menyerahkannya kepada selainnya. Ide ini telah ditolak dengan tegas oleh pemerintah dan kaum muslimin, karena ide itu tidak cocok dan tidak layak bagi kaum muslimin. Agama adalah nasehat untuk Allah, untuk Kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, untuk pemerintah kaum muslimin, dan untuk masyarakat kaum muslimin secara umum, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallâhu alaihi wa sallam.

Kita memohon kepada Allah agar Dia berkenan memperbaiki agama yang menjadi pelindung Kita, memperbaiki urusan dunia yang Kita hidup padanya, dan memperbaiki urusan akhirat Kita yang kelak Kita kembali padanya. Shalawat dan salam Allah senantiasa tercurah kepada Nabi Kita Muhammad, kepada keluarga beliau, dan para sahabat beliau.

 

Ditulis:

Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Anggota Haiah Kibar Al-Ulama

8 Dzulqa’dah 1431 H

(Sumber: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/13090)

SMP Al-Madinah — Dalam kaitannya dengan pendidikan anak negeri ini maka di samping pembentukan karakter yang lebih utama adalah membangun adab pada diri anak, sehingga anak dapat mengaplikaiskan dalam kehidupan bermasyarakat. Jika kehidupan bermasyarakat dibangun dengan menegakan adab maka kehidupan masyarakat menjadi bermoral dan beradab. Di sekolah anak didik harus diberikan teladan dari hal-hal yang lebih khusus tentang bagaimana menegakan adab. Sebagai seorang pendidik kita harus memberikan pemahaman, penanaman nilai, pembiasaan, dan keteladanan tentang adab yang berkaitan dengan ilmu, guru, dan diri anak didik tersebut.

Di dalam kitab karya KH. Hasyim Asy’ari berjudul Adab al-alim wa al-muta’allim fi ma yahtaj ilaih al-muta’allim fi ahwal ta’limihi wa ma yatawaqaf ‘alaih al-muta’allim fi maqamat ta’limihi sebelum menuntut ilmu anak didik harus memiliki adab :

  1. membersihkan hati dari berbagai gangguan material keduniaan dan hal-hal yang merusak sistem kepercayaan
  2. membersihkan niat, dengan cara meyakini bahwa menunut ilmu hanya didedikasikan kepada Allah SWT semata
  3. mempergunkan kesempatan belajar (waktu) dengan sebaiknya
  4. merasa cukup dengan apa yang ada dan menggunakan segala sesuatu yang lebih muda sehingga tidak merasa sulit
  5. pandai mengatur waktu
  6. tidak berlebihan dalam makan dan minum
  7. berusaha menjaga diri (wara’)
  8. menghindarkan makan dan minum yang menyebabkan kemalasan dan kebodohan
  9. menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan
  10. meninggalkan hal-hal yang kurang berfaedah.

Sedangkan kepada gurunya anak didik harus memiliki adab :

  1. Melakukan perenungan dan meminta petunjuk kepada Allah swt dalam memilih guru
  2. Belajar sungguh-sungguh dengan menemui pendidik secara langsung, tidak hanya melalui tulisan-tulisannya semata
  3. Mengikuti guru, terutama dalam kecerundungan pemikiran
  4. Memuliakan guru
  5. Memperhatikan hal-hal yang menjadi hak pendidik
  6. Bersabar terhadap kekerasan pendidik
  7. Berkunjung kepada guru pada tempatnya atau meminta izin terlebih dahulu
  8. Menempati posisi duduk dengan rapih dan sopan bila berhadapan dengannya
  9. Berbicara dengan halus dan lemah lembut
  10. Menghafal dan memperhatikan fatwa hukum, nasihat, kisah, dari para guru
  11. Jangan sekali-kali menyela ketika guru belum selesai menjelaskan
  12. Menggunakan anggota badan yang kanan bila menyerahkan sesutau kepada pendidik.

Ibnu Taimiyah (dalam penelitian Khotibul Umam diakses Nopember 2014) disebutkan tentang etika yang harus dilakukan murid terhadap guru ada empat hal, yaitu:

  1. Seorang murid hendaknya memiliki niat yang baik dalam menuntut ilmu yaitu mengharapkan ridho Allah.
  2. Seorang murid hendaknya mengetahui tentang cara memuliakan gurunya serta berterima kasih terhadapnya.
  3. Seorang murid hendaknya mau menerima setiap ilmu sepanjang ia mengetahui sumbernya, jangan mengikatkan diri hanya pada satu guru.
  4. Seorang murid hendaknya tidak menilak atau menyalahkan madzhab orang lain atau memandang madzhab orang lain sebagai madzhab orang-orang yang bodoh dan sesat.

Di dunia pendidikan negeri ini adab-adab inilah yang harus ditumbuhkan dan ditegakan kepada anak didik. Sebagai seorang murid anak didik harus menegakan adab mereka kepada gurunya, kepada ilmu yang akan dipelajarinya dan mengaplikasikan di dalam kehidupan bermasyarakat. Jika di dalam diri anak didik sudah terbentuk dengan karakter dan adab yang baik, maka anak didik dalam kehidupan bermasyarakat akan menegakan moral dan adab.

Namun harus diakui bahwa membentuk dan membangun anak negeri yang memiliki adab bukanlah persoalan hanya seorang guru dan lembaga pendidikan tapi ini adalah persoalan bersama masyarakat Indonesia. Untuk itu pembentukan karakter dan adab anak bangsa seyogyanya dilakukan bersama-sama antara orang tua sebagai masyarakat dan guru sebagai sekolah. Jika di sekolah telah dibentuk lingkungan dengan karakter dan adab yang baik namun pihak orang tua tidak mendukungnya justru melakukan tindakan yang bertentangan dengan yang dilakukan sekolah yang terjadi adalah anak-anak bangsa akan menjadi anak-anak yang membahayakan karena mereka terbiasa dibentuk dalam dua dunia yang berbeda, di satu sisi memiliki perilaku dengan kebaikan namun di sisi lain perilakunya bertentangan. Untuk menjadikan anak negeri ini menjadi anak yang menegakan adab maka di negeri ini dibutuhkan guru-guru sejati.

Mohammad Natsir dalam Adian Husaini 2010, percaya betul dengan ungkapan Dr. G.J. Nieuwenhuis: ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.” Guru yang dimaksud Natsir bukan sekedar “guru pengajar dalam kelas formal”. Guru adalah para pemimpin, orang tua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. “Guru” adalah “digugu” (didengar) dan “ditiru” (dicontoh). Jika dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat sebagai orang dewasa kita dapat memberikan teladan yang baik maka anak negeri ini akan menjadi anak yang menegakan adab begitu sebaliknya.

Pembentukan karakter dan adab yang baik pada diri anak dibutuhkan keteladanan dari para pemimpin bangsa, masyarakat, orang tua dan pendidik di sekolah. Dapatkah para pemimpin bangsa, masyarakat, orang tua dan pendidik menjadi teladan dan guru sejati buat anak-anak negeri ini?. Sekali lagi, negeri ini yang mayoritas berpenduduk muslim bukan sekedar membutuhkan karakter namun bagaimana generasinya dapat menjadi generasi yang beradab dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat! Bagaimanakah dengan kita, dapatkah menjadi teladan bagi generasi negeri ini?.

By : Ust. Heri Murtomo, S.Pd. (Guru SD Integral Luqman Al Hakim Surabaya).

SMP Al-Madinah— Perilaku masyarakat dan generasi negeri ini pada akhir-akhir ini semakin menguatkan pandangan masyarakat mengenai karakter anak bangsa yang telah mengalami kemunduran. Pendidikan dianggap telah gagal mendidik anak bangsa, karena pendidikanlah yang dapat membentuk karakter generasi bangsa. Pendidikan dipandang sebagai salah satu pintu untuk membentuk karakter anak. Karena di dunia pendidikanlah dianggap paling mudah membentuk dan memasukan unsur-unsur karakter kepribadian yang baik ke dalam jiwa anak-anak. Dengan adanya kurikulum baru tahun 2013 diharapkan mampu memberikan solusi untuk membentuk karakter anak didik. Kurikulum ini oleh pencetusnya dinyatakan sebagai kurikulum karakter karena 70% berisi tentang pembentukan karakter diri anak didik. Salah satu yang melatarbelakangi munculnya kurikulum 2013 adalah lunturnya karakter anak bangsa Indonesia. Karakter anak bangsa saat ini oleh sebagian besar masyarakat ditengarai sedang mengalami degradasi mental. Terbukti semakin maraknya perilaku para pelajar yang dengan tanpa beban melanggar norma agama dan norma negara, didukung perilaku para elite negara yang sudah sangat banyak tertangkap basah melakukan tindak korupsi. Hal yang terjadi tersebut di atas oleh masyarakat disebut sebagai hasil dari pendidikan di sekolah.

Pendapat para pakar pendidikan bahwa sekolah sudah melenceng jauh dari visi pendidikan di Indonesia yang merupakan lembaga pembentuk dan pendidik karakter anak. Sebagai stakeholders pendidikan agar kita tidak terjebak dengan pandangan masyarakat dan pendapat para pakar pendidikan tersebut maka kita harus pahami bersama bahwa yang terjadi di sekolah selama ini sudah sesuai dengan tujuan pendidikan bangsa . Sekolah beserta unsur-unsurnya senantiasa memberikan penanaman dan keteladan sebagai wadah pembentuk karakter, guru-guru dengan penuh kasih sayang dan sentuhan hati telah menanamkan pendidikan karakter yang baik kepada anak didiknya. Bahkan jika kita amati secara lebih mendalam yang dilakukan guru di sekolah melebihi yang dilakukan orang tua anak didik di rumah. Jika terjadi kejadian seperti tersebut di atas kita harus mencermati hal itu secara kompleks dan komperehensif, tidak serta merta beranggapan bahwa sekolah gagal membentuk karakter anak bangsa, karena pembentukan karakter anak berkaitan dengan banyak faktor di samping sekolah terdapat faktor orang tua dan lingkungan masyarakat.

Pendidikan karakter memang sangat urgen bagi bangsa ini karena masa depan bangsa terletak pada generasi saat ini. Jika pendidikan di Indonesia tidak dapat membentuk karakter generasi yang baik maka yang akan terjadi adalah kehancuran bangsa. Karakter yang baik, menurut John Luther, lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa. Hampir semua bakat adalah anugerah. Karakter yang baik, sebaliknya, tidak dianugerahkan kepada kita. Kita harus membangunnya sedikit demi sedikit – dengan pikiran, pilihan, keberanian, dan usaha keras (John Luther, dikutip dari Ratna Megawangi dalam Adian Husaini, 2010). Karakter memang laksana “otot” yang memerlukan latihan demi latihan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan dan kekuatannya. Karena itu, pendidikan karakter memerlukan proses pemahaman, penanaman nilai, dan pembiasaan, sehingga seorang anak didik mencintai perbuatan baik. Contoh, untuk mendidik agar anak mencintai kebersihan, maka harus dilakukan pembiasaan hidup bersih dan diberikan pemahaman agar mereka mencintai kebersihan. Tentu, ini adalah cara yang baik dan memerlukan kesabaran dalam pendidikan.

Bahwa karakter anak dapat dibentuk melalui pemahaman, penanaman nilai dan pembiasaan, serta keteladanan maka hal yang paling mudah untuk memasukan unsur-unsur tersebut adalah sekolah. Dengan sistem yang terencana, aktivitas yang terjadwal dan teratur serta komunitas anak yang seusia maka pendidikan karakter akan lebih mudah dilakukan di sekolah. Guru sebagai pendidik tidak hanya bertugas untuk memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didiknya namun guru harus dapat dijadikan teladan pembentukan karakter anak. Paradigma masyarakat bahwa guru adalah orang yang memiliki keteladanan dan dapat menjadikan anak didiknya untuk menjadi anak yang tumbuh dan kembang dengan karakter yang baik. Masyakat sepenuhnya mempercayakan dan menumpukan hal ini kepada guru sehingga kegagalan karakter anak bangsa merupakan kegagalan seorang guru khususnya dan kegagalan pendidikan di sekolah.

Hingga saat ini dalam hidup dan kehidupan masyarakat, pendidikan karakter yang dipupuk pada anak belum mampu menciptakan kehidupan yang bermoral. Untuk menciptakan hidup dan kehidupan masyarakat yang bermoral bukan hanya sekedar membentuk karakter anak, sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim maka bangsa ini masih perlu membangun tidak sekedar karakter anak bangsa namun anak-anak bangsa yang beradab sehingga menjadikan masyarakat yang beradab. Mari kita amati negara-negara non muslim yang memiliki karakter yang kuat, bangsa Cina maju sebagai hasil pendidikan karakter, lalu apa bedanya orang komunis yang berkarakter dengan orang muslim yang berkarakter? Orang komunis, atau ateis, bisa saja menjadi pribadi yang jujur, pekerja keras, berani, bertanggung jawab, mencintai kebersihan, dan sebagainya. Kabarnya, di Jepang, jika ketinggalan barang di taxi, hampir pasti akan bisa kembali. Di Cina, masyarakat ditanamkan disiplin yang sangat tinggi dalam soal sampah. Di jalan-jalan sulit ditemukan sampah. Bahkan, sampah selembar daun pun bisa mereka manfaatkan untuk bahan bakar. Artinya, karakter yang bagus bisa dibentuk pada setiap manusia, tanpa memandang agamanya apa. Jika orang non-Muslim bisa berkarakter, orang muslim juga bisa seperti itu.

Lalu, dimana perbedaan antara Muslim dan non-Muslim yang berkarakter? Bagi Muslim, dia bisa juga dan bahkan harus berkarakter mulia. Tetapi, bagi Muslim, berkarakter saja tidaklah cukup. Beda antara Muslim dengan non-Muslim – meskipun sama-sama berkarakter – adalah pada konsep adab. Yang diperlukan oleh kaum Muslim Indonesia bukan hanya menjadi seorang yang berkarakter, tetapi harus menjadi seorang yang berkarakter dan beradab.

Pemahaman dan pengakuan tentang adab inilah yang membedakan seorang Muslim yang berkarakter dengan seorang komunis atau ateis yang berkarakter. Secara umum, pendidikan karakter yang digalakkan oleh pemerintah adalah baik. Tetapi, orang yang berkarakter saja, belum tentu beradab. Lihatlah, orang-orang Barat, banyak yang sangat peduli dengan kebersihan dan kerja keras, tetapi mereka tidak memandang jahat aktivitas bermabok-mabokan, bertelanjang, dan berbuat tidak senonoh.

Pakar filsafat Islam dan sejarah Melayu menjelaskan bahwa, ” adab itu sesungguhnya suatu kelakuan yang harus diamalkan atau dilakukan terhadap diri, dan yang berdasarkan pada ilmu, maka kelakuan atau amalan itu bukan sahaja harus ditujukan kepada sesama insani, bahkan pada kenyataan makhluk jelata, yang merupakan ma’lumat bagi ilmu.” Orang beradab adalah yang dapat memahami dan mengakui sesuatu sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan oleh Allah SWT. (bersambung)

By : Ust. Heri Murtomo, S.Pd. (Guru SD Integral Luqman Al Hakim Surabaya).

SMP-Al-Madinah — Sebagai seorang guru, kita banyak menemui berbagai macam anak dengan perilaku yang berbeda-beda. Ada anak yang pendiam dan cenderung mengasingkan diri dari temannya atau sebaliknya, anak dengan perilaku yang berlebihan energinya seakan-akan tidak pernah capek atau sebaliknya, anak yang suka usil dengan temannya, anak yang sangat manja dengan kita sebagai gurunya, anak yang mandiri dan tanggung jawab, anak yang dengan mudah mengusai dan memahami materi pelajaran yang kita berikan atau sebaliknya, anak yang mudah fokus namun ada anak yang perhatiannya mudah teralihkan. Perilaku tersebut mungkin hanya sebagian dari perilaku anak-anak kita yang kita temui setiap hari.

Pada saat kita di kelas dan kita menemukan anak-anak dengan perilaku yang baik, sopan, santun, penurut, fokus dan dapat menguasai dan memahami materi pelajaran yang kita berikan dengan mudah maka kita akan merasa senang dan nyaman belajar bersama anak-anak. Namun pada saat kita menemukan anak dengan perilaku kompulsif (tidak patut) tidak bisa diam di kelas atau muter-muter (jawa), suka mengusili temannya, tidak perhatian saat kita berbicara, cuek dengan lingkungan sekitarnya, perhatiannya tidak fokus, keras kepala, merasa bosan dengan rutinitas dan nilai akademiknya yang jauh di bawah rata-rata maka perasaan kita akan tidak nyaman dengan anak tersebut dan kita dibuat pusing dengan olah anak tersebut sehingga kadang secara tidak sadar kita akan mengatakan tidak sanggup mengajar anak dengan kondisi tersebut karena mungkin anak tersebut memiliki gangguan pada otaknya. Sebelum saya mulai hal yang berkaitan dengan perilaku anak yang saya sebutkan di atas, saya ceritakan terlebih dulu kisah seorang anak.

Sebuah kisah seorang anak laki yang berumur enam tahun, pada saat lahir kepalanya besar. Diperkirakan punya penyakit otak. Ketiga kakaknya meninggal waktu lahir. Ibu anak laki ini tidak setuju dengan pendapat tetangga dan anggota keluarga yang lain bahwa anak laki ini mungkin abnormal.Pada waktu dimasukan sekolah, anak itu didiagnosa sakit jiwa oleh gurunya. Karena diperlakukan demikian, sang Ibu marah dan anak itu ditarik dari sekolah untuk diajarkannya sendiri. Ternyata anak itu di kemudian hari menemukan listrik, lampu, fonograf dan mikrofon, namanya Thomas Alva Edison (Gortzel dan Goestzel, 1962 dalam Kitano dan Kirby, 1986). Del North di Amerika, bahwa ia punya seorang putra berusia 7 tahun, para gurunya mengatakan bahwa ia tidak bisa kembali bersekolah kecuali memberinya obat Ritalin. Di kelas ia suka melamun, dan gurunya di kelas dua berkata bahwa ia takkan mengizinkan anak saya masuk sekolah sampai diobati. Di kelas satu, prestasinya baik tetapi gurunya tidak menyukainya.Saya telah membawanya ke dua dokter, dan dokter tersebut tidak bersedia memberinya obat karena setelah dites ia ternyata seorang genius.

Dari dua contoh kasus di atas menunjukkan bahwa mungkin bisa terjadi anak yang kita temui di dalam kelas setiap hari seperti yang terurai di atas dengan perilaku yang menjengkelkan menurut kita ternyata adalah anak yang memiliki intelektual bagus. Memang dapat ditemui bahwa ada anak dengan intelektual bagus tapi prestasi akademiknya tidak seperti potensi yang dimilikinya, anak yang demikian dikenal dengan underachiever. Home Gaskill Hutchkin (1988, dalam Colangelo, 1991) dan Kitano dan Kirby (1986) menyatakan yang disebut underachiever anak berbakat adalah kinerja yang secara signifikan berada di bawah potensinya. Semiawan (1997) underachiever adalah Anak berbakat dengan prestasi belajar kurang. Anak Berbakat Berprestasi Kurang (Underachiever) adalah anak berbakat yang menampilkan prestasi akademiknya lebih rendah secara berarti daripada potensi akademiknya, sehingga membutuhkan untuk bantuan dan fasilitasi yang sesuai untuk dapat mengoptimalkan perkembangan potensinya(Wahab, 2005).

Sekiranya “kendinya terisi penuh”, yaitu bila bakatnya teraktualisasi secara optimal, mungkin saja lahir Einstein Indonesia, sedangkan bila semua kemungkinan yang dimilikinya sebagai bakat dan kodrat sejak lahir tidak terwujud, semuanya akan mubazir (Semiawan, 1997). Anak berbakat akan mencapai prestasi belajar tinggi (superachiever) atau prestasi belajar kurang(underachiever) bergantung dari rumah, sekolah, dan teman sebaya. Lingkungan sekolah yang kurang menghargai hasil belajar tinggi akan menyebabkan anak berbakat tidak memperoleh kepuasan intrinsik dari hasil upayanya. Lingkungan sekolah yang demikian salah satu cirinya adalah : Lingkungan sekolah yang menginginkan semua anak belajar dengan materi, kecepatan dan gaya belajar sama, Guru yang kurang memperhatikan kualitas karya anak (Semiawan, 1997). Condron(2003) bahwa hanya sedikit orang yang cukup mengetahui tentang cara belajar agar mampu mengajar anak-anak yang masih belia ini secara memadai. Karena dibiarkan tak dikenali dan tidak mendapat rangsangan, anak-anak ini lalu melamun dalam upaya melepaskan diri dari rasa bosan, atau mereka akan menjadi malas karena upaya mereka yang tidak sepenuh hati seringkali menentukan jenjang kelas, jadi untuk apa bersusah payah lebih dari yang diperlukan?. Anak dengan intelektual bagus namun tidak mendapatkan porsi belajar sesuai dengan kapasitas intelektualnya maka akan menyebabkan anak menjadi trouble maker di dalam kelas karena merasa bosan dengan rutinitas.

Semiawan (1997), Anak berbakat dengan prestasi belajar kurang memperlihatkan ciri sebagai berikut :

  1. Sikap tidak matang dalam arti sosial dengan memperlihatkan sikap ditolak oleh sebayanya, antagonis, sikap permusuhan.
  2. Sikap negatif terhadap pekerjaan sekolah dikaitkan dengan kebiasaan belajar yang kurang baik, kegagalan menyelesaikan tugas, kegagalan menguasai keterampilan dasar, kinerja tes yang kurang, mudah teralihkan perhatian, phobia sekolah, memiliki motivasi rendah kecuali untuk bidang intern yang amat khusus, kurang tekun, aspirasi rendah dan memiliki standar yang tidak realistik.
  3. Memiliki perasaan inferior dan sikap defensif, kecenderungan menyalahkan orang lain dan berperilaku agresif(Kitano dan Kirby, 1986).
  4. Rasa harga diri rendah yang menghasilkan perilaku tidak produktif dan bahkan menjurus “belajar ketergantungan pada orang lain” (learned helplesness; Seligman, 1975 dalam Colangelo, 1991).

Untuk mengatasi masalah pada anak underachiever (Rimm, dalam Colangelo, 1991 dalam Semiawan 1997) kerjasama antara sekolah dan orang tua murid sangat diperlukan, kerjasama tersebut diantaranya :

  1. Assessment. Dilakukan kerjasama dengan psikolog, guru, konselor dan orang tua. Untuk asesmen pertama diperlukan tes intelegensi individu yaitu tes WISC-R atau Stanford Binet harus secara individu. Selama tes harus diperhatikan gejala-gejala ketegangan, perhatian terhadap tugas, ketekunan terhadap tugas, respons terhadap frustasi, pendekatan pengatasan masalah dan respons etrhadap upaya mendorong. Dilakukan tes keterampilan dasar CALISTUNG. Jika dimungkinkan dilakukan tes kreativitas.
  1. Komunikasi. Dilakukan antara orang tua dan guru untuk meremedi prestasi belajar kurang. Komunikasi ini tidak saling menyalahkan namun mencakup diskusi yang dinilai, kemajuan belajar yang dievaluasi, dan model belajar yang harus dilanjutkan oleh orang tua di rumah.
  1. Mengubah harapan. Yaitu mengubah harapan dari orang-orang penting bagi anak yaitu pola asuh orang tua atau gaya belajar dari guru yang sama seperti anak normal pada umumnya, atau bahkan karena anak tidak dapat memenuhi kebuuthannya dianggap anak tidak dapat menyesuaikan diri. Harapan tersebut harus diubah bahwa setiap anak membuuthkan layanan belajar dan pola asuh yang berbeda untuk mengoptimalkan potensinya.
  1. Model indentifikasi peran. Yaitu dengan mengundang orang atau guru yang berhasil dalam kariernya. Sebaiknya orang atau guru tersebut harus memiliki sikap :
  • Peduli tentang anak asuhnya
  • Sama jenis kelamin
  • Memiliki persamaan ciri fisik, gama, ras, latar belakang sosial ekonomi
  • Keterbukaan
  • Memiliki waktu
  1. Koreksi penyimpangan. Prestasi belajar kurang sebagai hasil kurang perhatiannya di kelas, cara belajar yang salah, dan unjuk kerja kurang. Diperlukan tutoring, namun sebaiknya dilakukan bukan oleh orang tua sendiri, melainkan orang dewasa yang sangat dekat, memahami masalah dan bertindak hati-hati, sehingga anak belajar mandiri karena didorong oleh tutor.
  1. Modifikasi kekuatan pengulang. Yaitu dengan memberikan reward, namun jangan memebrikan reward kalau pekerjaannya tidak selesai. Perhatian orang dewasa terhadap ahsil kerjanya merupakan ganjaran (reward) yang dapat meningkatkan motivasi intrinsik anak dan lebih baik daripada berbagai ganjaran yang menjadikan ekstrinsik (Rimm, dalam Colangelo, 1991) ,model di atas disebut model trifocal.

Semoga dengan gambaran tersebut di atas akan menjadikan kita sebagai seorang guru yang mau memahami potensi dan membantu untuk mengembangkannya agar kelak potensi mereka tidak terabaikan dengan sia-sia dan mereka menjadi anak-anak yang bermanfaat.Mampukah kita menjadi guru buat mereka-mereka? (humassdilh/abuaga)

Heri Murtomo, S.Pd. (Guru SD Integral Luqman Al Hakim Surabaya)

SMP Al-Madinah — Tiap tanggal 25 November kita memperingati hari bersejarah bagi para guru, yakni peringatan Hari Guru Nasional (HGN) dan HUT PGRI. Tahun 2014 ini adalah peringatan ke-69, usia yang tidak muda lagi. Usia yang menunjukkan kematangan jika di-qiyas-kan pada diri guru sebagai insan pendidik anak bangsa. Peringatan hari guru bisa dijadikan momentum untuk merefleksi dan muhasabah diri dalam mengemban amanah dan mengabdi dengan sepenuh hati.

Dalam filosofi Jawa, guru adalah sosok yang “digugu dan ditiru”. Yakni sosok yang dipercaya, dianut dan ditauladani. Maka muncul pertanyaan, sebagai seorang guru sudahkah kita patut dipercaya, dianut, dan ditauladani? Pertanyaan ini cukup kita tanyakan kepada hati kita sendiri. Tentunya sambil memperbaiki dan menambal sulam kekurangan diri. Guru mempunyai tanggung jawab yang besar. Di pundak guru-lah masa depan sebuah bangsa dan negara berada. Di tangan merekalah nasib anak bangsa ditentukan.

Problematika dunia pendidikan Indonesia semakin kompleks. Mutu pendidikan yang rendah menjadi penyebab utama rendahnya kualitas generasi bangsa. Rendahnya mutu pendidikan itu salah satunya dipengaruhi oleh kurikulum pendidikan. Kurikulum yang selalu berubah seiring bergantinya pemegang kebijakan, kualitas sumber daya manusia (SDM) pendidik yang lemah, dan biaya pendidkan yang tinggi menjadi permasalahan klasik yang belum terpecahkan. Sehingga tidak heran, muncul istilah “produk gagal” ketika mencetak generasi bangsa.

Masih banyak lagi problematika pendidikan Indonesia yang belum menemukan solusi. Jika dibiarkan berlarut-larut, tentu akan berdampak besar dan fatal bagi keberlangsungan hidup bangsa dan Negara.

Guru Profesional

Dalam membentuk guru professional yang berkarakter Nabi, tiada cara selain dengan meningkatkan kualitas guru. Dalam dunia pendidikan, guru adalah ujung tombak. Guru menduduki posisi tertinggi dalam mentransformasikan ilmu dan karakter kepada anak didiknya. Guru-lah yang terjun langsung berinteraksi dengan peserta didik dalam pembelajaran. Disinilah kualitas pendidikan terbentuk dan ditentukan oleh kualitas guru yang bersangkutan.

Anak didik di-amanah-kan langsung oleh orang tuanya untuk dibimbing sepenuhnya di sekolah. Seorang guru harus siap memikul dan menjaga amanah itu dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, seorang guru harus memiliki semangat yang besar, pantang putus asa, kuat mental dan selalu siap sigap dalam mengemban amanah mulia ini.

Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia mempunyai semboyan “Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani’ yang artinya di depan kita memberi contoh, di tengah membangun prakasa dan bekerjasama, di belakang memberi daya semangat dan dorongan. Kesimpulanya, guru yang baik adalah disamping menjadi suri tauladan dan panutan baik ucapan, sikap dan perilakunya, guru juga harus mampu menggugah semangat dan memberikan dorongan moral dari belakang, agar anak didik tergugah motivasinya dalam menggapai cita-cita

Untuk menjadi guru yang professional berkarakter nabi, hendaknya seorang guru tidak hanya mengajar (transfer of knowledge) ilmu duniawi semata. Guru juga harus mampu menanamkan nilai-nilai moral dan akhlak. Dalam setiap proses kegiatan belajar mengajar guru harus mampu mengkorelasikan, nilai-nilai materiil kebendaan dengan nilai-nilai spiritual keagamaan. Sehingga dapat mengubah pola pikir, ucapan, perilaku dan membentuk pemahaman bahwa seluruh alam semesta beserta isinya adalah ciptaan Tuhan yang Maha Esa.

Guru Berkarakter Nabi

Allah Swt. berfirman dalam Qs. Al Ahzab ayat 21, yang artinya “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”  Ayat ini menegaskan bahwasa telah ada pada diri Rasulullah Saw, suatu uswah dan qudwah bagi umatnya. Contoh dan Tauladan dari Rasulullah Saw. inilah yang hendaknya menjiwai dan menjadi pegangan bagi para pendidik Islam.

Empat hal paling mendasar yang patut diteladani dari Rasulullah Saw sebagai seorang pendidik muslim, diantaranya adalah sifat dan karakter Shiddiq (Trust), Amanah (Responsibility), Tabligh (Communication) dan Fathonah (Smart).

Shiddiq (Trust) yaitu seorang guru haruslah orang jujur. Jujur apa yang disampaikan itu adalah benar tanpa mengurangi atau menambahinya. Misalnya, dalam konteks pembelajaran, karena belum bisa menjawab pertanyaan dari murid, hendaknya mengatakan “Maaf saya belum tahu”. Tentunya sambil mencari jawabannya.

Amanah (Responsibility) yaitu guru harus sadar bahwa siswa adalah amanah dari orang tuanya dan dari Allah Swt, yang harus dididik dengan benar dan dicetak menjadi anak yang baik. Sehingga Guru bertanggungjawab sepenuhnya terhadap apa yang diajarkannya. Serta dapat menjalankan amanah tersebut dengan sungguh-sungguh serta ikhlas semata-mata mengharap Ridho-Nya.

Tabligh (Communication) yaitu guru haruslah selalu menyampaikan materi pembelajarannya dengan komunikasi yang baik, jelas, akurat, padat dan mudah dipahami. Sehingga transfer of knowledge kepada siswa akan lebih efektif dan efisien. Tentunya dalam kaitan ini, guru sudah harus menyiapkan perangkat pembelajaran yang ideal.

Fathonah (Smart) yaitu guru haruslah menguasai metode pembelajaran dalam kelas yang efektif, menyiapkan perangkat pembelajaran, menguasai ilmu yang akan disampaikan, dan terus berupaya mengasah serta menambah ilmunya.

Guru yang ideal bisa diimplementasikan dari kepanjangan kata “GURU” yaitu Gagasan, Usaha, Rajin dan Ulet. Seorang guru harus kaya dengan gagasan dan ide kreatif. Hal ini menjadikan peserta didik lebih berkembang dan inovatif. Ide tidak akan berjalan jika hanya direncanakan, harus ada usaha maksimum mewujudkannya. Ide dan usaha harus dilandasi dengan kerajinan. Guru harus sungguh-sungguh melaksanakan tugas hingga mencapai yang diharapkan. Jikalau ketiganya bisa berjalan dengan baik, maka sifat ulet (istiqomah) harus ada pada diri seorang guru. Segala perbuatan tanpa sifat istiqomah, maka akan sulit menggapai kesuksesan. Guru yang berhasil mengantarkan kesuksesan belajar siswanya, tidak lepas dari pertolongan dari Allah Swt. Karena itulah, guru harus mendoakan anak didik dalam setiap munajatnya.

Dengan tangan dingin guru, dengan sikap dan sifat lemah lembutnya, semoga kelak lahir pemimpin bangsa yang tangguh. Pemimpin yang mampu membawa kejayaan negeri tercinta ini. Semoga diusianya yang ke-69, guru mampu memberikan persembahan terbaik kepada negeri ini, mampu memberikan sesuatu yang membanggakan bangsa ini, Aamiin. Selamat Hari Guru Nasional.

 Danang “Soeto Wijoyo” Muslim (Karyawan SD Luqman Al Hakim Surabaya)

SMP Al-Madinah — Ada sebagian orang mempunyai cita-cita untuk menjadi seorang guru. Tetapi tidak sedikit pula diantaranya yang tidak bercita-cita guru tetapi “terpaksa” berprofesi sebagai guru. Guru adalah profesi yang sangat mulia. Karena keberadaan gurulah yang membuat seseorang menjadi presiden, menteri, politisi, profesor, pengusaha atau profesi yang lain.

Begitu mulianya tugas seorang guru. Mengajari anak orang supaya bisa membaca, menulis, dan berhitung serta memperoleh ilmu pengetahuan. Mendidik anak orang supaya menjadi manusia yang baik dan bermanfaat untuk orang banyak. Dengan demikian, sungguh berat sebenarnya tugas seorang guru.

Guru mengajar dan mendidik siswa dalam rangka mencetak generasi penerus bangsa yang berkualitas, berakhlak mulia, serta mampu melakukan perubahan-perubahan di tengah masyarakat. Bisa dikatakan bahwa gurulah tolok ukur keberhasilan dunia pendidikan di negri ini. Di tangan gurulah masa depan generasi muda ini ditentukan. Oleh karena itu, guru mesti berhati-hati dalam menjalankan tugas mulia ini. Jika salah dalam mendidik mereka, maka akan salah pula nanti produk pendidikan yang dihasilkan.

Dalam pendidikan, yang akan kita cetak itu adalah manusia. Bukan tepung terigu dan telur yang tidak pernah protes meskipun kita campur aduk dengan bahan apapun. Karena yang dicetak adalah makhluk hidup, kita harus lebih banyak belajar dan terus meningkatkan ketrampilan dalam mencetaknya. Agar output yang dihasilkan juga sesuai dengan yang diharapkan. Output yang diharapkan tentunya adalah siswa yang bukan hanya baik saja, tetapi juga harus benar. Oleh karena itu, guru sebagai pencetaknya, juga harus melakukan pengajaran dan pendidikan dengan cara yang baik dan benar. Ingat, baik saja belum cukup. Sesuatu yang baik, belum tentu benar. Mengajar adalah sesuatu yang baik, tetapi belum tentu mengajar dengan cara yang benar. Oleh karena itu, baik dan benar harus menjadi satu kesatuan yang utuh, yang berjalan bersama-sama dan tidak ada yang boleh tertinggal.

Seorang guru adalah seorang pendidik. Pendidik ialah “orang yang memikul tanggung jawab untuk membimbing”. Pendidik tidak sama dengan pengajar, sebab pengajar itu hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada murid. Prestasi yang tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang pengajar apabila ia berhasil membuat murid memahami dan menguasai materi pengajaran yang diajarkan kepadanya. Tetapi seorang pendidik bukan hanya bertanggung jawab menyampaikan materi pengajaran kepada murid saja tetapi juga membentuk kepribadian seorang anak didik berkualitas tinggi.

Untuk menjadi seorang pendidik yang baik, Imam Al-Ghazali menetapkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang guru. Al-Ghazali berpendapat bahwa guru yang dapat diserahi tugas mendidik adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.

Selain sifat-sifat umum yang harus dimiliki guru sebagaimana disebutkan di atas, seorang guru juga harus memiliki sifat-sifat khusus atau tugas-tugas tertentu sebagai berikut :

1. Meluruskan niat

Dalam rukun sholat yang pertama adalah niat. Tujuannya adalah untuk menata hati agar antara pikiran, hati, dan pikiran menjadi satu kesatuan dalam beribadah. Begitu juga dengan menjadi guru. Hal yang harus dilakukan pertama kali adalah meluruskan niat. Kalau profesi guru hanya sekedar pelarian saja, tidak dapat pekerjaan lain, kebutuhan PNS guru lebih besar dibandingkan dengan PNS lainnya, dan karena banyak hal yang lain. Jika begini, maka kita tidak akan pernah memiliki target dan visi yang jelas ketika menjadi guru. Mungkin cenderung hanya berorientasi pada materi semata, bukan keberhasilan pendidikannya. Oleh karena itu, sebelum menjalani profesi sebagai guru atau yang sudah menjadi guru, maka wajib meluruskan niat lagi.

2. Memiliki akhlak yang mulia

Guru sering diartikan ”digugu dan ditiru”. Nah, ini berarti bahwa guru merupakan suri tauladan bagi murid-muridnya. Segala gerak-gerik, perkataan, dan tingkah laku guru sedikit banyaknya akan dicontoh oleh murid-muridnya. Oleh karena itu, seorang guru mesti mencontohkan akhlak yang mulia bagi murid-muridnya. Agar mereka juga bisa menjadi manusia yang berakhlak mulia.

Maka hindarilah sifat-sifat tercela seperti membenci, marah yang berlebihan, mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor, mencaci maki murid, dendam terhadap murid, dan berlaku tidak sopan terhadap murid. Hargailah murid terlebih dahulu sebelum meminta murid untuk mengahargai guru. Sayangilah murid, sebagaimana kita sayang pada anak sendiri. Jika tidak mampu untuk menampilkan akhlak yang mulia, maka kecil harapan untuk bisa mencetak siswa yang berakhlak mulia.

3. Senantiasa belajar

Belajar tidak harus tentang pelajaran atau ilmu pengetahuan. Belajar dalam kehidupan ini bisa bermakna luas. Untuk selalu menjadi baik itu juga merupakan salah satu bentuk belajar. Jika sekarang sudah baik, berusahalah terus untuk menjadi lebih baik dihari-hari berikutnya. Jika belum baik, maka perbaiki diri kita mulai sekarang dan terus ditingkatkan untuk hari-hari berikutnya. Jika hari ini masih salah dalam memperlakukan murid, maka belajarlah untuk memperbaikinya di lain waktu. Dengan demikian, murid juga akan mencontoh kebiasaan itu, yakni senantiasa belajar untuk menjadi lebih baik.

4. Pandanglah murid sebagai manusia yang berpotensi

Jangan pandang murid seperti gelas kosong yang siap dituangi air sampai penuh, bahkan meluber. Setiap manusia pasti memiliki potensi, guru tinggal menggali dan mengembangkannya saja. Dengan demikian, proses belajar akan lebih bermakna dan memperoleh hasil yang maksimal.

5. Jangan pernah merasa selalu benar

Setiap manusia tidak ada yang sempurna. Meskipun guru lebih tua dari murid, tetap saja berpeluang untuk salah. Dan murid, meskipun lebih muda dan mungkin ilmuya belum banyak. tetap berpeluang untuk lebih benar. Maka jangan merasa benar sendiri. Mengajar itu ibadah, jangan pernah berputus asa atas berbagai masalah selama menjalani proses pendidikan ini.

Sudahkah anda menjadi guru yang baik dan benar?

Adi Purwanto, M.Pd (Guru SD Luqman Al Hakim Surabaya)

SMP Almadinah.com – Orang Optimis Memiliki Kesehatan Jantung Terbaik. Orang yang senantiasa memelihara sikap optimis dipercaya memiliki kesehatan jantung yang lebih baik secara signifikan, klaim sebuah studi baru.

“Peserta penelitian dengan tingkat optimisme tertinggi, dua kali memiliki kondisi kesehatan jantung yang ideal, dibandingkan rekan-rekan mereka yang lebih pesimis,” kata Rosalba Hernandez, profesor pekerja sosial di University of Illinois, Amerika Serikat.

Kesehatan jantung 5.100 peserta studi dinilai menggunakan tujuh metrik: tekanan darah, indeks massa tubuh, kadar glukosa darah saat puasa dan serum kolesterol, asupan makanan, aktivitas fisik, dan penggunaan rokok.

Para peserta, yang berkisar di antara usia 45-84 tahun, juga menyelesaikan survei yang menilai kesehatan mental, tingkat optimisme, dan kesehatan fisik, berdasarkan diagnosis medis yang dilaporkan sendiri oleh peserta, seperti artritis, penyakit hati, dan ginjal.

Studi ini mengatakan skor total kesehatan mereka meningkat bersama dengan tingkat optimisme mereka.

“Hubungan keduanya tetap signifikan, bahkan setelah disesuaikan dengan karakteristik sosio-demografi dan kesehatan mental yang buruk,” tambah Hernandez, seperti dikutip Torontosun, Senin (12/1/2014).

Penelitian yang terbit pada jurnal Health Behavior and Policy Review edisi terbaru ini mengatakan, orang yang optimis tidak hanya lebih mungkin untuk memiliki kesehatan jantung yang ideal. Mereka juga memiliki kadar gula darah dan total kolesterol yang secara signifikan lebih baik, lebih aktif secara fisik, dan memiliki kecenderungan kecil untuk merokok. (ikr/okezone)

SMP almadinah.com–Pendidikan yang saya dapatkan ketika mengaji di sebuah TPQ, mengajarkan bahwa kematian, jodoh, rezeki adalah hal yang sudah dipastikan adanya. Ketika saya tumbuh dewasa, ceramah-ceramah agama pun menyampaikan hal yang sama.  Secara pribadi saya tidak banyak memikirkan tentang kematian, karena bagi saya hal itu sedikit menakutkan dan biarlah berjalan sesuai aturan Allah.
Tetapi, ketika saya memikirkan tentang rezeki, naluri saya menolak ketika ada orang mengatakan “semua sudah ada yang mengatur, dan tiap orang mendapat jatahnya masing-masing”. Hal ini dikuatkan oleh bukti ketika seorang penjual nasi pecel bercerita kepada saya. Sebut saja, Bu Romlah. Ia bertutur bahwa saat ia menambah satu wakul porsi nasinya untuk dijual, ternyata tidak pernah habis. Berbeda ceritanya ketika ia tidak pernah menambahkan satu wakul nasi saat ia berjualan, dan hasilnya selalu 100% laris.
Saya pun berpikir keras. Apa iya memang seperti itu? Secara tekstual hal ini dapat diartikan bahwa seberapa keras usaha kita untuk menambah penghasilan, pastinya tetap seperti itu-itu saja. Tapi hasil akhirnya, saya tetap mempertahankan argumen bahwa pasti ada jalan untuk menambah penghasilan. Bagi saya, orang tersebut harusnya tidak menambahkan satu wakul nasi, tapi membuat satu rombong nasi pecel baru untuk menambah penghasilannya.
Pemikiran saya semakin dikuatkan ketika Ust. Jamal (Guru saya di Pondok Gading) selalu menekankan bahwa Allah selalu tergantung prasangka hamba-Nya. Ketika seorang hamba percaya bahwa Allah akan memberikan lebih pada dirinya, pastinya Allah akan memberikan lebih kepada sang hamba dan begitu pula sebaliknya.
Saya pun yakin, Allah akan menilai langkah-langkah seorang hamba dalam menjalani sebuah kehidupan.  Mungkin Allah, pun menilai sang penjual nasi pecel tersebut belum memiliki kemampuan untuk mengelola keuangan yang ada ketika ia diberikan keberlimpahan harta. Terbukti, beberapa bulan yang lalu Bu Romlah ternyata kepergok memiliki PIL yang seringkali diajak kencan. Sebagian uangnya ternyata diberikan kepada PIL tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sang PIL. Maklum, karena suaminya lumpuh sejak 1 tahun yang lalu, Bu Romlah pun memilki pacar baru. Coba kita bayangkan ketika Bu Romlah diberikan keberlimpahan harta, bisa jadi pacarnya pun semakin berlimpah. Seperti lagu pop. Gak jaman punya pacar satu aja, gak jaman pacaran harus setia.
Akhir kata, untuk menjadi pribadi yang diberikan keberlimpahan, haruslah kerja keras, tahan banting, optimisme yang tinggi, berdoa’a, istiqomah, husnudzon pada Allah,  dan melantunkan sebuah do’a yang dulu, saya pernah diajarkan oleh seseorang. “Ya Allah berilah kami tambahan rezeki”. Beliau yang mengajarkan doa ini pernah bertutur pada saya “Allah itu, sejatinya sudah memberikan rizki pada kita tiap hari, oleh sebab itu kata-katanya harus di tambah  dengan “tambah rezeki””.
Ayo para pemuda, kita mulai dengan do’a seperti itu tiap hari. Kalau bisa menjadi kaya saat muda, mengapa harus menuggu tua. Dengan seperti itu, diharapkan, bahwa sebagai muslim haruslah menjadi kaya, bahkan kaya raya, kerena orang yang kaya, masuk surga paling pertama. (*)

Oleh:  Alfan Arifuddin
Guru SMP Al Hikmah Pasuruan dan Kontributor MU.

sumber :mediaumat.com

SMP Al-Madinah.com – Mengapa Banyak Orang Tua Lebih Keras Mendidik Anak Sulung? Sudah bukan rahasia lagi bahwa di lingkungan sosial tersurat aturan tak tertulis mengenai bagaimana urutan kelahiran anak mempengaruhi perlakuan orangtua pada mereka.

Sebuah penelitian mengatakan, banyak orangtua lebih keras dalam mendidik anak pertama, hasil positifnya adalah statistik tingkat kecerdasan anak sulung lebih tinggi dibandingkan anak bungsu.

Masih menurut penelitan yang melibatkan 12.000 responden di Amerika Serikat ini, ditemukan 33,8 persen ibu mengaku anak pertama mereka lebih pintar di kelas.

Kemudian, para responden juga mengatakan bahwa perlakuan mereka terhadap anak sulung yang mendapatkan nilai jelek di sekolah, memang terbilang lebih keras ketimbang si bungsu yang memperoleh nilai buruk.

Selain itu, penelitian juga melaporkan, anak tengah dan anak bungsu memiliki waktu bermain dan menonton televisi lebih lama dibandingkan kakak mereka yang merupakan anak pertama.

Pada studi lain, tercatat pula bukti nyata yang mengklaim bahwa IQ anak pertama lebih tinggi dibandingkan anak kedua dan seterusnya.

“Sebenarnya tingkat kecerdasan dan intelegensia anak tak dipengaruhi oleh urutan kelahiran, tapi lebih kepada bagaimana pola asuh disiplin yang diterapkan orangtua pada masing-masing anak,” ujar V. Joseph Host, Ketua Penelitian.

Masih menurut Host, secara alamiah sikap tegas orangtua lebih terarah pada anak pertama. Namun, sikap yang demikian terbilang lebih longgar terhadap anak kedua, apalagi anak bungsu. Bagi orangtua, si bungsu adalah si kecil yang selamanya selalu menjadi anak kecil di mata mereka. Tak heran jika sikap orangtua cenderung protektif pada anak bungsu. Alhasil, umumnya, si bungsu tumbuh menjadi oarng yang kurang percaya diri dan manja.

Para pakar psikolog telah meninjau dan mempelajari hubungan antara urutan kelahiran anak dengan tingkat kesuksesan mereka di bidang akademis dan profesional. Hasilnya, kecerdasan anak bukan berdasarkan urutan kelahiran, tapi lebih kepada sikap dan perilaku orangtua terhadap sang buah hati.

Pada saat yang sama, begitu banyak orangtua percaya pada stereotip urutan kelahiran, dan akhirnya terbentuklah gaya pola asuh yang berlainan pada masing-masing anak. Anak pertama didorong untuk lebih pintar dan berprestasi, sedangkan si bungsu cenderung dilindungi dan dimanja. (ikr/kompas)

SMP al-madinah – Radiasi Wi-Fi Bisa Mengganggu Kesehatan? Bagi banyak orang, adanya  Wi-Fi gratis sangat bermanfaat. Sejumlah hotel, restoran, hingga taman kini menyediakan layanan Wi-Fi. Namun, adanya Wi-Fi di banyak tempat justru membuat wanita di Inggris,  Mary Coales (63) khawatir.

Mary mengaku mulutnya merasa linu ketika dekat dengan pancaran Wi-Fi. Ia percaya telah menderita sindrom intoleransi hipersensitivitas elektromagnetik (electromagnetic hypersensitivity intolerance syndrome/EHS).

Banyak yang percaya bahwa radiasi dari Wi-Fi meskipun tidak terlalu tinggi mampu menyebabkan sakit kepala, lesu,dan mual  hingga kesulitan bernapas, bahkan kelumpuhan. Mereka juga takut radiasi dapat menyebabkan kanker, penyakit autoimun, dan gangguan saraf dalam jangka panjang.

“Seluruh hidup saya berubah. Saya harus  menemukan cara untuk menghindari Wi-Fi dan sinyal telepon. Wi-Fi di mana-mana sekarang, sehingga sangat sulit bagi saya untuk menghindarinya. Bahkan lebih sulit dari menghindari orang-orang yang menggunakan ponsel,” ujar Mary.

Sebuah penelitian tahun 2011 menemukan bahwa aktivitas otak siswa laki-laki menurun di daerah yang terpancar radiasi Wi-Fi.

Hasil penelitian American Society for Reproductive Medicine pada tahun 2010 juga menyatakan bahwa sinyal wifi secara signifikan juga dapat mengganggu aktivitas otak pada wanita muda.

Namun sindrom intoleransi hipersensitivitas elektromagnetik atau EHS belum diakui secara medis di Inggris. Badan Perlindungan Kesehatan Inggris menyatakan tidak ada bukti ilmiah yang menghubungkan antara gangguan kesehatan dengan peralatan elektronik, meskipun banyak orang yang merasakan dampaknya.

Salah satu dokter GP NHS di Somerset, Andrew Tresidder mengaku prihatin EHS tidak diakui secara medis. Andrew mengaku telah banyak  mendapati pasien yang mengeluhkan gejala EHS.

“Sensitivitas Electro adalah penyakit yang sangat nyata, ” kata dia.

Menurut dia,  sel-sel dalam tubuh bisa sensitif dengan jenis gelombang energi, seperti suara dan cahaya. Oleh karena itu, tak heran jika sel tubuh juga bisa sensitif terhadap jenis lain, seperti gelombang radio.

Sementara itu, Direktur Fisika Medis di Royal Berkshire NHS Foundation Trust, Malcolm Sperrin menilai tidak ada bukti mengenai hubungan antara sinyal ponsel, WiFi dan penyakit.

“Tingkat radiasi dari mereka sangat rendah. Dalam banyak kasus, hampir tidak terdeteksi (radiasi). Intensitas radiasi Wi-Fi100.000 kali lebih kecil dari oven microwave,” kata dia.

Tak hanya Mary, seorang musisi Ricky Gardiner (66), yang pernah menjadi pemain gitar untuk Iggy Pop dan David Bowie di tahun 70-an itu juga merasakan hal yang sama. Ricky percaya penyakitnya itu muncul karena ia sering membuat musik menggunakan lima komputernya.

“Ini dimulai dengan kehangatan aneh dalam tubuh saya. Pertengahan tahun 90-an, saya merasa sangat tidak sehat, dengan detak jantung dan pernapasan masalah tidak teratur,” kata Ricky.

Hal yang sama dialami Sue Brown (53). Ia terpaksa mengundurkan diri sebagai guru di sebuah sekolah independen bergengsi tiga tahun lalu setelah Wi-Fi dipasang di sekolah itu. Brown mengaku mengalami kesulitan tidur pada malam hari, sakit kepala, dan terkadang mereasa mual. Dokter pun memberikan obat penghilang rasa sakit, namun tidak berhasil.

“Sekarang, saya tidak bisa pergi ke mana pun, karena Wi-Fi begitu luas. Gejala yang menghebohkan, tapi ketika saya menceritakannya, orang-orang melihat seolah-olah saya gila, ” ucap Brown. (dnt/kompas)

sumber mitrafm.com